Suara.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah mengirimkan Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk merespon pemeriksaan kasus dugaan makar terhadap aktivis dan tahanan politik Papua, Paulus Suryanta Ginting, Charles Kosay, Ambrosius Mulait, dan Isay Wenda.
Amicus Curiae telah diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (26/3/2020) kemarin.
Melalui mekanisme Amicus curiae pengadilan diberikan izin untuk mengundang pihak ketiga guna menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.
ICJR melalui Amicus Curiae ini menyampaikan berdasarkan kronologi dan juga pengetahuan yang berkembang mengenai tindak pidana makar itu sendiri, serta hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Bahwa perbuatan para aktivis Papua menyampaikan ekspresi politiknya sebagai perwujudan dari pelaksanaan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat dilindungi oleh konstitusi dan tidak dapat dipidana dengan makar.
"Sehingga, Paulus Suryanta Ginting, Charles Kosay, Ambrosius Mulait, dan Isay Wenda harus dinyatakan tidak terbukti melakukan perbuatan makar sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum dan dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini," kata Erasmus A.T. Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Jumat (27/3/2020) pagi.
Menurut ICJR, ekspresi politik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh UUD 1945 dan instrumen HAM internasional lainnya. Praktik-praktik penegakan hak ini menunjukkan bahwa ekspresi politik tidak dapat dibatasi kecuali melalui batasan-batasan yang sah.
"Dengan memperhatikan hak tersebut, ekspresi politik yang sah tidak dapat dipidana, melainkan harus dilindungi oleh negara," terangnya.
Berkaitan dengan tuntutan yang diminta oleh massa aksi soal referendum tersebut, ICJR berpendapat bahwa praktik referendum dan ekspresi untuk meminta referendum sudah menjadi bagian dari praktik ketatanegaraan di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melakukan referendum untuk memutuskan apakah Timor Timur akan memisahkan diri dari NKRI atau tidak. Hal ini, dilakukan dengan sah dan bukan merupakan sebuah upaya makar.
Pembuktian delik makar harus berkorelasi antara perbuatan dengan tujuan makar, bahwa perbuatan harus berkonsekuensi logis dengan tujuan dilakukannya makar yaitu seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara. Secara logis, ekspresi politik yang sah yaitu meminta adanya referendum jelas-jelas tidak dapat mengakibatkan seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara.
Baca Juga: Kuasa Hukum Tapol Papua: Saksi Jaksa Justru Meringankan Dakwaan
"Selain itu, hal ini juga tidak sesuai dengan original intent adanya pasal makar, yaitu tidak dapat ditujukan untuk menyasar ekspresi politik warga negara," jelasnya.
Sekedar informasi, aktivis dan tahanan politik Papua, Paulus Suryanta Ginting, Charles Kosay, Ambrosius Mulait, dan Isay Wenda ditangkap aparat kepolisian pada 30 Agustus 2019 lalu dengan tuduhan makar. Kasus ini kemudian diperiksa di PN Jakarta Pusat dengan nomor register No. 1303/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst. Surya Anta, dkk didakwa karena melakukan makar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 110 KUHP.
Kasus ini dimulai ketika Surya Anta, dan kawan-kawannya melakukan demonstrasi di depan Istana Presiden pada 22 Agustus dan 28 Agustus 2019 sebagai respon atas dugaan tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Dalam demonstrasi ini, massa menyuarakan tuntutan agar tindakan rasisme ini segera diusut dan menyuarakan pula dilakukannya referendum untuk kemerdekaan Papua.
Sebagaimana diberitakan, dalam demonstrasi ini terjadi pengibaran bendera bintang kejora. Atas hal ini, Surya Anta dkk ditangkap karena diduga menjadi inisiator dari semua aksi ini.
Berita Terkait
-
Kuasa Hukum Tapol Papua: Saksi Jaksa Justru Meringankan Dakwaan
-
Monyet Papua Jakarta, Nama WA Grup Tapol Papua Pengibar Bintang Kejora
-
Mobil Disita Gegara Aksi Papua, Siswoyo Rela Ngojek Agar Anak Bisa Makan
-
Tak Bisa Cari Duit, Saksi Minta Mobil Komando Aksi Tapol Papua Dipulangkan
-
AII: Penangkapan 6 Tapol Papua Bentuk Inkonsistensi Polri
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Murah untuk Aktivitas Harian Pemula, Biaya Operasional Rendah
- Shio Paling Hoki pada 8-14 Desember 2025, Berkah Melimpah di Pekan Kedua!
- 7 Rekomendasi Bedak Padat Anti Dempul, Makeup Auto Flawless dan Anti Cakey
- 51 Kode Redeem FF Terbaru 8 Desember 2025, Klaim Skin Langka Winterlands dan Snowboard
- Sambut HUT BRI, Nikmati Diskon Gadget Baru dan Groceries Hingga Rp1,3 Juta
Pilihan
-
Rekomendasi 7 Laptop Desain Grafis Biar Nugas Lancar Jaya, Anak DKV Wajib Tahu!
-
Harga Pangan Nasional Hari Ini: Cabai Sentuh Rp70 Ribu
-
Shell hingga Vivo sudah Ajukan Kuota Impor 2026 ke ESDM: Berapa Angkanya?
-
Kekhawatiran Pasokan Rusia dan Surplus Global, Picu Kenaikan Harga Minyak
-
Survei: Kebijakan Menkeu Purbaya Dongkrak Optimisme Konsumen, tapi Frugal Spending Masih Menguat
Terkini
-
Prabowo Ungkap Alasan Sebenarnya di Balik Kunjungan ke Moskow Bertemu Putin
-
OTT Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, KPK Sebut Terkait Suap Proyek
-
KPK Tangkap Tangan Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, Anggota DPRD Ikut Terseret?
-
Bobby Nasution Jelaskan Tidak Ada Pemangkasan Anggaran Bencana Ratusan Miliar
-
Korban Meninggal Banjir dan Longsor di Sumatera Bertambah Jadi 969 Jiwa
-
Digelar Terpisah, Korban Ilegal Akses Mirae Asset Protes Minta OJK Mediasi Ulang
-
Respons Ide 'Patungan Beli Hutan', DPR Sebut Itu 'Alarm' Bagi Pemerintah Supaya Evaluasi Kebijakan
-
Tinjau Lokasi Banjir Aceh, Menteri Ekraf Terima Keluhan Sanitasi Buruk yang 'Hantui' Pengungsi
-
Mensos Sebut Penggalang Donasi Tanpa Izin Terancam Sanksi Rp10 Ribu: Warisan UU Tahun 60-an
-
Komisi Reformasi Pertimbangkan Usulan Kapolri Dipilih Presiden Tanpa Persetujuan DPR