- Amnesty Internasional Indonesia menegaskan Soeharto tidak layak mendapat gelar pahlawan nasional karena sejarah pelanggaran HAM di masa pemerintahannya.
- Direktur Eksekutif Usman Hamid menyebut pencalonan Soeharto sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat dan berpotensi menutup era reformasi.
- Koalisi masyarakat sipil menuntut pemerintah fokus menyelesaikan kasus HAM masa lalu, bukan memberi penghargaan kepada pelaku pelanggaran.
Suara.com - Amnesty Internasional Indonesia menolak tegas dimasukkannya nama Presiden Kedua, Soeharto, dalam daftar nama penerima gelar pahlawan nasional.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu bentuk pengkhianatan terbesar atas mandat rakyat sejak 1998.
Jika usulan ini terus dilanjutkan, lanjut Usman, reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Soeharto jatuh akibat protes publik yang melahirkan reformasi, oleh karena itu, menganugerahi Soeharto gelar pahlawan nasional bisa dipandang sebagai akhir dari reformasi itu sendiri,” kata Usman, dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025).
Usulan Kementerian Sosial, yang mengusulkan 40 nama sebagai pahlawan nasional kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dinilai sebagai upaya sistematis untuk mencuci dosa rezim otoriter Suharto yang marak akan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto memimpin dengan otoriter melalui rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berekspresi, membungkam oposisi, dan menormalisasi praktik pelanggaran HAM secara sistematis,” tegas Usman.
Sebabnya, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan merupakan pengabaian penderitaan para korban dan keluarga mereka yang hingga kini belum mendapatkan keadilan.
Saat Soeharto berkuasa, kata Usman, terdapat berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi di bawah kekuasaan Soeharto.
Seperti pembantaian massal 1965–1966, penembakan misterius (Petrus) 1982–1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua, hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhannya pada 1997–1998.
Baca Juga: Soeharto Pahlawan Nasional 2025? Kontroversi Mencuat, Fadli Zon Pegang Kunci
Negara, kata Usman, juga telah mengakui peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat, baik melalui Ketetapan MPR pada awal reformasi maupun pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada Januari 2023.
Namun, hingga kini, tidak satu pun aktor utama termasuk Soeharto yang dimintai pertanggungjawaban.
“Pemerintah semestinya memprioritaskan penyelesaian yudisial dan non-yudisial atas pelanggaran HAM berat masa lalu, bukan justru memberi penghargaan kepada pelaku yang bertanggung jawab atas kasus-kasus itu,” tegasnya.
Sebabnya, Usman mengecam dan menolak usulan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Pemerintah harus mengeluarkan Soeharto dari daftar nama-nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Soeharto tidak layak berada di daftar itu, apalagi diberi gelar pahlawan. Hentikan upaya pemutarbalikkan sejarah ini,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyerahkan dokumen berisi daftar 40 nama calon Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Selasa (21/10/2025).
Berita Terkait
Terpopuler
- Lupakan Louis van Gaal, Akira Nishino Calon Kuat Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Mengintip Rekam Jejak Akira Nishino, Calon Kuat Pelatih Timnas Indonesia
- 7 Mobil Keluarga 7 Seater Seharga Kawasaki Ninja yang Irit dan Nyaman
- Link Download Logo Hari Santri 2025 Beserta Makna dan Tema
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 21 Oktober 2025: Banjir 2.000 Gems, Pemain 110-113, dan Rank Up
Pilihan
-
5 Laga Klasik Real Madrid vs Juventus di Liga Champions: Salto Abadi Ronaldo
-
Prabowo Isyaratkan Maung MV3 Kurang Nyaman untuk Mobil Kepresidenan, Akui Kangen Naik Alphard
-
Suara.com Raih Penghargaan Media Brand Awards 2025 dari SPS
-
Uang Bansos Dipakai untuk Judi Online, Sengaja atau Penyalahgunaan NIK?
-
Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Soal Dana APBD Rp4,17 Triliun Parkir di Bank
Terkini
-
Dukung Revisi UU Hak Cipta untuk Lindungi Karya Jurnalistik, AMSI Serahkan Simbol Dukungan Ini
-
Prabowo Setujui Ditjen Pesantren, PDIP Siap 'Perkuat Narasi Patriotisme'
-
Polemik Utang Hingga Dugaan Markup Whoosh, PDIP Tugaskan Fraksi Lakukan Kajian
-
'Skema Mafia' Terbongkar: Rp 40 Miliar Digelontorkan untuk 'Beli' Vonis Lepas Korupsi CPO
-
Akui Sulit Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama, Bareskrim: Dikejar Lari-lari!
-
Bukan Cuma Iklan: 5 Bos Media Bongkar 'Revenue Stream' Ajaib di Era AI
-
Pakar Pidana Tegaskan Polemik Patok Kayu PT WKM Harusnya Tak Jadi Perkara Pidana
-
Kejagung Dalami Jejak Korupsi Chromebook Sampai ke 'Ring 1' Nadiem Makarim
-
Terungkap! Alasan Sebenarnya APBD DKI Jakarta Numpuk Rp14,6 Triliun! Bukan Deposito, Tapi...?
-
Kejati Jakarta Bongkar Skandal LPEI: Negara 'Dibobol' Hampir Rp 1 Triliun