Bisnis / Makro
Rabu, 03 Desember 2025 | 15:11 WIB
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief. [ANTARA/Muzdaffar Fauzan]
Baca 10 detik
  • Kementerian Perindustrian menyatakan industri otomotif menghadapi tekanan serius meskipun penjualan kendaraan listrik (EV) impor meningkat tajam.
  • Penjualan kendaraan non-EV domestik utama mengalami penurunan signifikan, jauh di bawah kapasitas produksi tahunan saat ini.
  • Pemerintah dan komunitas otomotif menekankan perlunya insentif baru untuk menjaga daya saing dan melindungi lapangan kerja.

Suara.com - Kementerian Perindustrian menilai, industri otomotif nasional sedang menghadapi tekanan serius meski penjualan kendaraan listrik alias electric vehicle (EV) tengah meningkat tajam. 

Pemerintah menyebut industri membutuhkan insentif baru untuk menjaga keberlanjutan produksi, melindungi pekerja dari risiko pemutusan hubungan kerja, dan mempertahankan daya saing ekosistem otomotif dari hulu hingga hilir.

Kemenperin mencatat penjualan EV melonjak signifikan pada periode Oktober–Januari 2025 dibanding tahun sebelumnya. 

Namun, pertumbuhan tersebut tidak mencerminkan kekuatan industri nasional, sebab sebagian besar penjualan berasal dari kendaraan impor. 

Dari total 69.146 unit kendaraan listrik yang terjual sepanjang 2025, 73 persen merupakan produk impor yang nilai tambah dan penyerapan tenaga kerjanya berada di luar negeri.

Sementara itu, segmen kendaraan non-EV yang diproduksi di dalam negeri terus mengalami penurunan penjualan. 

Segmen-segmen tersebut memiliki pangsa pasar terbesar dan menjadi basis produksi utama, tetapi penjualannya kini jatuh jauh di bawah kapasitas produksi tahunan.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menyoroti persepsi publik yang menilai industri otomotif sedang kuat hanya karena peningkatan penjualan di satu segmen tertentu. 

“Jadi, keliru jika kita menyatakan industri otomotif sedang dalam kondisi kuat dengan hanya mengandalkan indikator pertumbuhan kendaraan pada segmen tertentu," ujar Febri dalam keterangannya, Rabu (3/12/2025).

Baca Juga: Insentif Otomotif 2026 Belum Jelas, Pemerintah Klaim Industri Sudah Kuat

Menurutnya, penurunan tajam penjualan kendaraan bermotor roda empat jauh di bawah angka produksinya di kala penjualan kendaraan EV impor naik tajam adalah fakta yang tidak bisa dihindari.

"Dan, harus menjadi indikator pertumbuhan industri otomotif nasional saat ini. Kami memandang bahwa dibutuhkan insentif untuk membalikkan keadaan tersebut,” lanjutnya.

Ia juga menepis anggapan bahwa maraknya pameran otomotif mencerminkan industri sedang sehat. 

Menurutnya, pameran justru menjadi upaya industri untuk memulihkan permintaan di tengah penjualan domestik yang anjlok. 

“Banyaknya pameran otomotif di berbagai tempat Indonesia juga bukan ukuran industri otomotif sedang kuat," kata Febri.

Sebaliknya, dia menambahkan, banyak pameran otomotif adalah upaya dan perjuangan industri untuk tetap mempertahankan demand ditengah anjlok penjualan domestiknya dan sekaligus melindungi pekerjanya dari PHK.

Data Gaikindo menunjukkan penjualan mobil sepanjang Januari–Oktober 2025 secara wholesales hanya 634.844 unit, turun 10,6 persen dari tahun sebelumnya. 

Ilustrasi penjualan mobil (Pexels/Akshay Shende).

Penjualan retail sales juga melemah menjadi 660.659 unit, turun 9,6 persen dari 2024. Kondisi ini memperkuat kesimpulan bahwa pasar domestik belum kembali pulih.

Kemenperin menyebut insentif otomotif menjadi instrumen penting dalam upaya memulihkan pasar kendaraan bermotor dan menjaga keberlanjutan industri nasional. 

Febri menilai insentif tidak hanya bermanfaat bagi pelaku industri, tetapi juga bagi konsumen. 

Ia menyatakan dukungan fiskal dapat membantu menurunkan harga kendaraan dan mempertahankan daya beli masyarakat kelas menengah serta pembeli mobil pertama.

“Walaupun Kemenperin belum merumuskan jenis, bentuk dan target insentif/stimulus, tapi usulannya akan mengarah ke segmen kelas menengah-bawah dan didasarkan pada nilai TKDN,” ungkapnya.

Kemenperin juga mencatat penurunan signifikan pada sejumlah segmen kendaraan yang menjadi tulang punggung industri. 

Segmen entry (OTR < Rp200 juta) turun 40 persen, segmen low (Rp200–400 juta) turun 36 persen, dan segmen kendaraan komersial turun 23 persen. 

Ketiga segmen tersebut selama ini menjadi penyerap produksi terbesar sekaligus berkontribusi besar terhadap tenaga kerja industri otomotif.

Menurut Febri, tekanan pasar yang terjadi secara bersamaan dapat berdampak lebih luas pada industri komponen dan investasi sektor otomotif. 

“Tidak adanya intervensi kebijakan akan membuat tekanan ini semakin dalam, dan efeknya dapat memengaruhi struktur industri secara keseluruhan,” ujarnya.

Dorongan pemberian insentif juga muncul dari komunitas otomotif. Founder Xpander Mitsubishi Owners Club (X-MOC), Sonny Eka Putra, menilai insentif sebaiknya disesuaikan kebutuhan masing-masing segmen. 

“Kalau saya ngelihatnya case by case. Ini sebetulnya juga berlaku untuk mobil listrik. Maksudnya insentif itu diperlukan untuk mobil kalangan menengah ke bawah biar tepat sasaran. Kalau yang di segmen atas itu nggak wajib malah,” tuturnya.

Sonny menilai konsumen kelas menengah ke atas tidak membutuhkan insentif karena dianggap mampu membeli tanpa dukungan fiskal. 

"Mobil hybrid saja sebetulnya harganya biasanya lebih mahal. Baru yang kemarin keluar Veloz harganya di bawah Rp 300 juta. Tapi yang pasti mobil menengah ke atas itu memang jangan sampai ada insentif, karena dianggap mereka (konsumen) mampu membeli,” imbuhnya.

Ketua Dewan Pengawas Calya Sigra Club (Calsic), Ryan Cayo, juga menilai insentif sebagai stimulus penting bagi pergerakan ekosistem otomotif dari hulu ke hilir. 

“Komunitas melihat bahwa wacana insentif, apapun bentuknya, idealnya tidak hanya dilihat sebagai 'diskon' bagi industri, tetapi sebagai stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat dan memastikan ekosistem otomotif tetap bergerak," ucap Cayo.

Kebijakan yang tidak pasti disebut dapat memicu konsumen menunda pembelian kendaraan, termasuk di pasar mobil bekas. 

Owner Indigo Auto, Yudy Budiman, mengatakan penundaan tersebut mulai terasa di lapangan. 

“Bahkan termasuk saya di bidang mobil bekas, itu banyak orang yang jadi nunda pembelian. Kalau di mobil bekas kita ada penurunan mungkin sekitar 10-20 persen,” pungkas Yudy.

Load More