News / Nasional
Sabtu, 13 September 2025 | 08:28 WIB
Demo di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/8/2025) sore. [Suara.com/Faqih Fathurrahman]
Baca 10 detik
  • KontraS mengungkap dugaan penghilangan paksa terhadap 33 peserta unjuk rasa pada akhir Agustus 2025
  • Sebagian korban ditemukan ditahan secara diam-diam oleh kepolisian dan mengalami kekerasan fisik
  • KontraS mendesak Komnas HAM dan LPSK untuk menyelidiki kasus ini dan melindungi para korban 
[batas-kesimpulan]

Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mengungkap terdapat dugaan penghilangan paksa yang terjadi pada aksi unjuk rasa yang berlangsung pada 25-31 Agustus lalu.

Berdasarkan laporan yang mereka terima lewat posko yang dibuka sejak 1 September sebanyak 44 orang sempat dinyatakan hilang.

Namun, saat ini sebanyak 41 orang telah ditemukan, sementara tiga orang lainnya yang merupakan mahasiswa belum ditemukan hingga 12 September 2025.

Dari puluhan laporan itu, KontraS mengidentifikasi terdapat 33 orang menjadi korban dugaan penghilangan paksa.

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra menjelaskan, meski para korban telah ditemukan dan diketahui keberadaannya, periode selama mereka disembunyikan, nasib dan keberadaannya tetaplah merupakan suatu praktik penghilangan paksa.

"Dalam hal ini, para korban secara spesifik mengalami penghilangan paksa dalam jangka pendek atau short-term enforced disappearances," kata Dimas di Kantor KontraS, Jakarta dikutip Suara.com pada Sabtu (13/9/2025).

Identifikasi dugaan penghilangan paksa itu merujuk pada temuan dan aduan yang dialami para korban saat dinyatakan hilang.

Beberapa di antara mereka ditemukan dalam penahan kepolisian secara incommunicado, yaitu dengan menghalangi komunikasi dan akses terhadap dunia luar seperti keluarga dan orang terdekatnya.

Juru Bicara Gugus Tugas Pencari Fakta Tim Advokasi untuk Demokrasi, Dimas Bagus Arya Saputra, dalam konferensi pers soal kematian Affan Kurniawan, di Jakarta, Rabu (10/9/2025). [Suara.com/Yaumal Asri Adi Hutasuhut]

Para korban tidak diperbolehkan menerima pendampingan hukum sesuai pilihan mereka.
Dengan kata lain, kata Dimas, kepolisian telah melakukan penyembunyian nasib dan keberadaan orang-orang yang ditahan.

Baca Juga: KontraS Ajukan Tiga Tuntutan untuk Tim Investigasi Demo Ricuh Bentukan Prabowo

"Situasi ini menyebabkan para korban berada di luar jangkauan perlindungan hukum, yang terjadi dalam bentuk penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan proses hukum yang tidak adil dan transparan," ujar Dimas.

KontraS memandang, unsur-unsur itu merupakan bagian konstitutif dari penghilangan paksa.

"Sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED), yang telah ditandatangani oleh Indonesia pada 27 September 2010,"jelas Dimas.

Sejumlah korban yang berhasil ditemukan, mengakui mengalami tindak kekerasan oleh kepolisian selama mereka dinyatakan hilang.

Mereka yang kembali banyak mengalami luka-luka, seperti yang dialami salah satu korban bernama Didik.

Setelah sempat dinyatakan hilang, Didik diketahui sempat ditahan oleh Polda Metro Jaya. Usai dibebaskan dia mengalami sejumlah luka karena dugaan kekerasan kepolisian.

Beberapa luka itu di antaranya, luka bocor di kepala, luka di bagian kening, luka di pelipis, luka di bagian dengkul kanan dan kiri, serta punggungnya yang mengalami banyak luka.

Atas adanya dugaan penghilangan paksa itu, KontraS mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemantauan.

Sementara kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dituntut memberikan perlindungan kepada saksi dan korban.

Sebab beberapa korban mengalami trauma dan kesulitan mendapatkan biaya pengobatan.

Load More